Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Bait ke 36 Qowaid Fiqhiyyah



 Bait Ke-36

ولا يتم الحكم حتى تجتمع                              كل الشروط والموانع ترتفع

36. Hukum itu tidak akan ada sampai terkumpul semua syarat dan semua faktor penghalangnya tidak ada

 

Kaedah:

"الأحكام الأصولية، والفروعية لا تتم إلا بأمرين، وجود شروطها، وأركانها، وانتفاء موانعها"

“Hukum Ushul maupun Furu’ tidak akan ada kecuali dengan dua hal, terpenuhi syarat-syaratnya, dan rukun-rukunnya, juga hilangnya semua faktor penghalangnya”

Dalil Kaedah:

Setiap dalil syarat dan juga dalil mani’

Dalil syarat

لَا تُقْبَلُ صَلَاةُ مَنْ أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ

Tidak akan diterima shalat seseorang yang berhadats hingga dia berwudlu.” (HR. Bukhari)

Syarah:

Kaedah ini sangat bermanfaat sekali, yakni bahwasanya hukum itu tidak akan sempurna sampai terpenuhi syarat-syaratnya, dan sirna seluruh penghalang-penghalangnya

Yang dimaksud dengan syarat adalah:

مَا يَتَوَقَّفُ وُجُوْدُ الشَّيْءِ عَلَى وُجُوْدِهِ وَيَلْزَمُ مِنْ عَدَمِهِ العَدَمُ وَلاَ يَلْزَمُ مِنْ وُجُوْدِهِ وُجُوْدُ الشَّيْءِ

“Sesuatu tergantung pada adanya dia. Tidak adanya dia berarti tidak ada sesuatu. Namun jika ada dia, belum tentu sesuatu itu ada.”

Misalnya: thaharah (bersuci) adalah syarat shalat. Shalat itu tergantung pada thaharah (bersuci). Tidak adanya thaharah berarti tidak ada shalat. Namun, jika thaharah itu ada, belum tentu shalat itu ada.

 

Mawani’ (penghalang) adalah:

مَا يَلْزَمُ مِنْ وُجُوْدِهَا عَدَمَ الحُكْمِ وَلاَ يَلْزَمُ مِنْ عَدَمِهَا وُجُوْدَ الحُكْمِ وَلاَ عَدَمَهُ لِذَاتِهِ

“Adanya mawani’ berarti tidak adanya hukum. Tidak adanya mawani’ tidak melazimkan adanya hukum atau tidak adanya dilihat dari dzatnya.”

Contoh: Haidh adalah jadi penghalang wajibnya shalat. Adanya haidh berarti menunjukkan tidak adanya kewajiban shalat. Namun, bukan berarti tidak adanya haidh, berarti ada shalat atau tidak adanya. Karena bisa jadi ia tidak haidh, tetapi ia dalam keadaan majnun (gila), maka tidak wajib shalat.

 

Contoh:

فمثلاً: الصلاة لها شروط ولها موانع، فالحيض مانع منها، واستقبال القبلة شرط لها، فإذا صلت المرأة مستقبلة القبلة لكنها حائض لم تصح صلاتها، وذلك لأن وجود المانع يمنع من أن يتم العمل، فلا يصح العمل مع وجود المانع

كذلك التكفير لا يتم التكفير إلا إذا توفرت شروطه وانتفت موانعه.

ومن موانعه: الإكراه والجهل في المسائل التي يجهل مثلها، والتأويل نوع من الجهل، فلابد في التفكير من أن تتم الشروط وتنتفي الموانع

(( من قال لا إله إلا الله دخل الجنة ))

Dan syarat Laa ilaaha illallah ada 7 seperti sudah disebutkan, yaitu

Al Ilmu (mengilmui), dalam menafikan dan menetapkan. Kebalikannya adalah Al Jahl (kebodohan).

Al Yaqin (meyakini), kebalikannya adalah Asy Syak dan Ar Rayb (keraguan).

Al Ikhlash (ikhlas), kebalikannya adalah Asy Syirku (syirik) dan Ar Riya’ (riya).

Ash Shidqu (membenarkan), kebalikannya adalah Al Kadzabu (mendustakan).

Al Mahabbah (mencintai), kebalikannya adalah Al Karhu (membenci).

Al Inqiyadu (menaati), kebalikannya adalah At Tarku (tidak taat).

Al Qabulu (menerima), kebalikannya adalah Ar Raddu (menolak).

Ditambah yang kedelapan “kufur terhadap sesembahan selain Allah”

 

sebagian ulama menggabungkan syarat-syarat ini dalam 1 baris bait :

علمٌ يقينٌ وإخلاص وصدقك مع محبة وانقياد والقبول لها

وزيد ثامنها الكفران منك بما... سوى الإله من الأشياء قد ألها هذا الشرط الثامن قاله شيخنا الشيخ سعد بن حمد بن عتيق رحمه الله

 

Bait Ke-37

ومن أتى بما عليه من عمل                              قد استحق ما له على العمل

37. Siapa yang melakukan amal yang menjadi kewajibannya, berhak untuk mendapatkan apa yang seharusnya ia dapatkan karena melakukan amal tersebut.

Kaedah:

"إذا أدى ما عليه، وجب له ما جُعل عليه".

“Jika seorang mengerjakan kewajibannya, wajib baginya apa yang menjadi haknya”

Dalil Kaedah:

Mengenai balasan ukhrawi disebutkan dalam ayat,

هَلْ جَزَاءُ الْإِحْسَانِ إِلَّا الْإِحْسَانُ

“Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula).” (QS. Ar-Rahman: 60)

 

 إِنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ

“Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (QS. At-Taubah: 120)

Adapun balasan duniawi di antaranya mengenai perihal mahar sebagaimana dalam ayat,

 

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ

“Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah, no. 2443. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini sahih).

 

Syarah:

Barangsiapa yang mengerjakan kewajibannya dari suatu pekerjaan, maka ia berhak mendapat upah yang disepakati. ini baik dalam bab Ibadah atau bab Ju’aalah, atau dalam bab Ijaaroh atau yang lain

Mengenal Transaksi “jualah”

Ibnu Qudamah Al-Hanbali mengatakan, “Jualah adalah semisal ucapan, ‘Siapa yang menemukan lalu mengembalikan barangku atau hewan ternakku yang hilang atau membuat tembok ini maka untuknya upah sebesar sekian.’ Siapa saja yang melakukan apa yang dikatakan di atas dia berhak mendapatkan upah yang dijanjikan.

Read more https://pengusahamuslim.com/1609-mengenal-transaksi-jualah.html

Mengenal Transaksi “Ijarah”

Ijarah atau jual beli jasa adalah suatu transaksi yang objeknya adalah manfaat atau jasa yang mubah dalam syariat dan manfaat tersebut jelas diketahui, dalam jangka waktu yang jelas serta dengan uang sewa yang jelas.

Ijarah itu ada dua macam:

Pertama, ijarah dengan objek transaksi benda tertentu semisal menyewakan rumah, kamar kost, menyewakan mobil (rental mobil, taksi, bis kota dll).

Kedua, ijarah dengan objek transaksi pekerjaan tertentu semisal mempekerjakan orang untuk membangun rumah, mencangkul kebun dll.

Syarat Sah Transaksi Ijarah

Pertama, pelaku transaksi adalah orang yang boleh mengadakan transaksi (balig dan berakal).

Kedua, adanya kejelasan jasa atau manfaat yang dibeli semisal menempati suatu rumah atau pelayanan yang diberikan oleh pembantu rumah tangga.

Ketiga, adanya kejelasan nominal uang sewa atau gaji pekerja.

Keempat, jasa atau manfaat yang dijual adalah manfaat yang dinilai mubah oleh syariat semisal menempati suatu rumah. Ijarah tidak sah manakala jasa atau manfaat yang dijual adalah manfaat yang haram semisal menyewakan rumah atau kios untuk jualan khamr, menyewakan kamar hotel dengan sistem short time untuk keperluan zina, menyewakan rumah untuk dijadikan sebagai gereja atau menjual barang barang haram.

Kelima, jika objek transaksi ijarah adalah barang maka disyaratkan ada kejelasan barang yang disewakan dengan cara melihat secara langsung atau deskripsi yang jelas dan yang menjadi objek transaksi adalah manfaat barang bukan barangnya, barang tersebut bisa diserahkan kepada pihak penyewa, mengandung manfaat yang mubah serta yang menyewakan adalah pemilik barang atau wakil dari pemilik barang.

Read more https://pengusahamuslim.com/2774-transaksi-ijarah-1472.html

 

Contoh:

Begitu juga dalam Ibadah: Jika seorang muslim menegakkan ibadah ikhlas karena Allah, mencontoh sunnah Rasulullah, maka baginya balasan dari amalannya dan pahalanya

Seseorang bersepakat dengan orang sewaan, untuk membangunkan tembok dan akan diberikan sekian-sekian dari upah, maka jika seorang tukang tadi melaksanakannya yakni melakukan amalnya maka berhak baginya upah

Tapi,

Jika dia yang tukang kita sewa tadi tidak menyelesaikannya dan berhenti begitu saja, maka bagaimana hukumnya? Berhak dapat upah atau tidak?

Jawabannya kita ambil dari Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

تعرفون الحديث -وإن كان النبي ﷺ ذكره في معنى آخر- الذي هو في أهل الكتاب وهذه الأمة، اليهود عملوا إلى منتصف النهار، والنصارى إلى العصر، ثم جاءت هذه الأمة، وأكملت العمل، وأخذت الأجر، فهؤلاء ذكر النبي ﷺ أنهم ليس لهم من الأجر شيء، لا يُعطَون شيئًا من الأجر([29]).

فهذا يمكن أن يُستنبط منه حكم في باب الإجارة، استأجرتَ عاملا، وقلت له: أريد منك أن تصبغ هذه الدار كلها، فصبغ غرفتين، ثم قال: حر، وتعب، وأنا تعبت، ولا أريد أن أكمل، هل يستحق أجرة غرفتين؟

الجواب: لا يستحق شيئاً، يكمل ويُعطَى الأجرة، أو ما يُعطَى شيئًا، لاحظتَ.

*Perbedaan akad ju’alah dan ijarah misalnya dalam ruqyah:

Akad ju’alah, yaitu mempersyaratkan hasil (kesembuhan) baru dapat upah. Jadi, apabila tidak sembuh, maka tidak boleh dapat upah.

Akad ijarah, yaitu yaitu jasa dengan bentuk yang jelas, waktu, jasanya, dan upah yang jelas. Misalnya ada yang meruqyah 30 menit non-stop dan dibayar sekian, meskipun tidak sembuh, boleh ambil upah.

Kalau upah dikaitkan dengan effort/ tindakan maka bisa memakai akad ijarah. Namun, jika dikaitkan dengan end result-nya maka akad yang bisa digunakan adalah ku’alah. Kedua akad tersebut sama-sama boleh dan dimungkinkan untuk digunakan.

 

Bait Ke-38

ويفعل البعض من المأمور                               إن شق فعل سائر المأمور

38. Dan tetap dikerjakan sebagian dari hal yang diperintahkan jika kesulitan untuk mengerjakan semua yang diperintahkan

 

Kaedah:

Penulis membawakan kaedah tapi dengan ungkapan yang sangat panjang sekali:

"يجب فعل المأمور به كله، فإن قدر على بعضه، وعجز عن باقيه وجب عليه فعل ما قدر عليه إلا أن يكون المقدور عليه وسيلة محضة، أو كان بنفسه لا يكون عبادة فلا يجب فعل ذلك البعض"

Lebih mudah dan singkat yakni dengan mengatakan:

"الميسور لا يسقط بالمعسور"

“Sesuatu yang mudah dikerjakan tidak gugur dikarenakan ada bagian lain yang sulit dikerjakan”

 

Dalil Kaedah:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu (Qs At Taghabun: 16)

(إذا أمرتكم بأمر فأتوا منهم ما استطعتم)

 

Syarah:

Yakni, Barangsiapa yang tidak mampu melakukan ibadah secara sempurna maka dia mengerjakan semampunya

*Pent

Penerapan kaedah adalah Ibadah-ibadah yang menerima taba’’udh (boleh dilakukan bagian, ditinggalkan sebagian), akan tetapi tetap dihukumi ibadah yang sah walaupun tanpa adanya sebagian yang dikerjakan

Contohnya sholat dengan duduk, hakekat sholatnya tetap walaupun hilang sebagian yang dilakukan (berdiri)

Adapun ibadah yang tidak menerima taba’udh seperti puasa maka tidak dikatakan seorang berpuasa kecuali jika dia kerjakan semenjak terbit fajar kedua hingga terbenamnya maahari

Contoh:

فإذا كان مثلاً لا يقدر أن يرفع يديه في الصلاة كما جاء في السنة؛ لكنه يقدر على أن يرفعهما دون ذلك فإنه يرفع بقدر ما يستطيع، لأن النبي عليه الصلاة والسلام قال: (إذا أمرتكم بأمر فأتوا منه ما استطعتم)

 

Jika tidak mampu mencuci sebagian anggota wudhu atau mandi karena satu penghalang, maka hendaklah ia mencuci yang mampu ia cuci, dan gugur darinya anggita yang tidak mampu ia cuci

Seorang yang tidak mampu sholat dengan berdiri hendaklah shalat dengan duduk, jika tidak mampu duduk maka dengan berbaring

 

 

 

Aditya Bahari
Aditya Bahari Alumni LIPIA Jakarta, Pengasuh Pejalansunnah, Staf Pengajar di PP Darut Taqwa Boyolali

Posting Komentar untuk "Bait ke 36 Qowaid Fiqhiyyah"