Syarah Mandzumah Lamiyyah (Kaidah Memahami Nama & Sifat Allah)
Kaidah Memahami Nama & Sifat Allah
Oleh:
Aditya Bahari BA
Mengapa Tidak Bisa Mengetahui Hakikat
Allah ﷻ?
Untuk mengetahui hakikat sesuatu,
harus dengan salah satu dari 3 cara:
Melihat langsung
Mengetahui hakikat Allah ﷻ dengan cara pertama ini
tidak mungkin terwujud di dunia, karena Allah ﷻ tidak mungkin dilihat
melainkan di akhirat kelak.
تَعَلَّمُوا أَنَّهُ لَنْ يَرَى أَحَدٌ مِنْكُمْ رَبَّهُ عَزَّ
وَجَلَّ حَتَّى يَمُوتَ
“Ketahuilah bahwasanya tidak ada
seorang pun di antara kamu yang bisa melihat Tuhannya sampai dia mati.” (HR.
Muslim No. 169.)
Hal ini dikarenakan kemampuan mata
kita terbatas. Mata kita tidak kuat untuk melihat cahaya Allah ﷻ, bagaimana lagi dengan
melihat Allah ﷻ.
Ketika Nabi Musa ‘alaihissalam meminta untuk melihat Allah ﷻ di dunia beliau pun
pingsan. Allah ﷻ berfirman,
وَلَمَّا جَاءَ مُوسَى لِمِيقَاتِنَا
وَكَلَّمَهُ رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ قَالَ لَنْ تَرَانِي
وَلَكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي
فَلَمَّا تَجَلَّى رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَى صَعِقًا
فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أَوَّلُ
الْمُؤْمِنِينَ
“Dan tatkala Musa datang untuk
(munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami tentukan dan Tuhan telah
berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa: ‘Ya Tuhanku, nampakkanlah
(diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau’. Tuhan berfirman,
‘Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka
jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku’.
Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu
hancur luluh dan Musa pun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia
berkata, ‘Maha Suci Engkau, aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang
pertama-tama beriman’.” (QS. Al-A’raf: 143)
Demikian juga Nabi Muhammad ﷺ tatkala mikraj yang mana pada saat itu Nabi
Muhammad ﷺ sudah sangat dekat dengan Allah ﷻ, namun beliau tidak
bisa melihat Allah ﷻ. Ketika beliau ditanya “Apakah engkau
melihat Rabb-mu?”. Beliau berkata نُورٌ أَنَّى أَرَاهُ “Ada cahaya bagaimana
aku bisa melihat-Nya.” ([6])
Namun pada hari kiamat kelak tatkala
kaum mukminin dibangkitkan maka mereka bisa melihat Rabb mereka di surga. Nabi
Muhammad ﷺ
bersabda,
إِنَّكُمْ سَتَرَوْنَ رَبَّكُمْ عِيَانًا
“Kalian akan melihat Rabb kalian
secara langsung (dengan mata kepala).” (HR. Bukhari No. 7435.)
Sehingga cara pertama tidak mungkin
untuk dilakukan.
Melihat yang semisalnya
Mengetahui hakikat Allah ﷻ dengan cara kedua ini
juga tidak mungkin terwujud karena Allah ﷻ tidak punya yang semisal
dengan-Nya untuk diperbandingkan. Allah ﷻ berfirman,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ۖ وَهُوَ
السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa
dengan Dia, dan Dialah yang Maha Mendengar dan Melihat.” (QS.
Asy-Syura: 11)
Dikabarkan oleh sumber berita yang
terpercaya
Cara ini adalah satu-satunya cara yang
memungkinkan, dan akan berhenti sejauh kabar tersebut. Jika Allah ﷻ dan Nabi-Nya
mengabarkan bahwa Allah ﷻ punya tangan, punya kaki, dua mata, dan
seterusnya dari sifat-sifat yang dikabarkan oleh Allah ﷻ dan Nabi-Nya di dalam
Al-Qur’an dan hadis maka kita tetapkan sampai kadar tersebut tanpa mengurangi
dan menambah. Jika Allah ﷻ dan Nabi Muhammad ﷺ mengabarkan bahwa Allah ﷻ punya sifat-sifat
tersebut maka kita tetapkan nama beserta maknanya sesuai konsekuensi bahasa
Arab, tetapi karena Allah ﷻ dan Nabi Muhammad ﷺ tidak mengabarkan
kaifiah sifat Allah ﷻ tersebut maka membagaimanakannya adalah
terlarang.
Kesimpulannya, mengetahui hakikat
kaifiah Allah ﷻ
adalah sesuatu yang mustahil untuk dilakukan, begitu pula membayangkannya.
Khayalan tidak mungkin sampai pada kadar tersebut.
Dalam menyikapi dzahir nas-nas berkaitan dengan sifat
Allah ﷻ maka manusia terbagi
ke dalam tiga golongan:
Contoh : sifat السَّمْعُ
(mendengar) Allah ﷻ bisa dipahami
maknanya yaitu mendengar sesuatu yang didengar, namun kaifiah mendengar-Nya
Allah ﷻ tidak bisa dipahami.
Muawwilah (para penakwil), mereka mengatakan bahwa
yang diinginkan oleh Allah ﷻ bukan dzahirnya,
sehingga ayat-ayat tersebut harus ditakwil. Seperti sifat istiwa’ dimaknai
dengan istaula (menguasai)
Mufawwidhah, mereka mengatakan bahwa yang dimaksudkan
oleh Allah ﷻ bukan dzahirnya dan
juga maknanya tidak mungkin untuk diketahui, sehingga semuanya diserahkan
kepada Allah ﷻ. Seperti sifat
istiwa’ tidak mereka maknai dengan sesuatu apa pun.
Ahlusunah, mereka membiarkan makna ayat sesuai
dzahirnya tanpa membagaimanakan, atau dengan kata lain bahwa yang Allah ﷻ maksud adalah sesuai dzahir ayat, hanya
saja kita serahkan kepada Allah ﷻ
bagaimana kaifiahnya. Seperti sifat istiwa’ mereka maknai dengan “di atas” dan
beberapa makna lainnya sesuai konsekuensi bahasa Arab, akan tetapi “di atas”nya
Allah ﷻ tidak diketahui
bagaimana kaifiahnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah berkata:
وَجَمِيْعُ آيَاتِ الصِّفَاتِ أُمِرُّهَا *** حَقًّا كَمَا
نَقَلَ الطِّرَازُ الْأَوَّلُ
Dan semua ayat sifat aku membiarkan makna ayat
sesuai dzahirnya tanpa membagaimanakan,
Dengan haq sebagaimana yang dinukil dari generasi pertama
(Para Shahabat, Tabi’iin dan yang mengikuti mereka dengan ihsan)
وَأَرُدُّ عُهْدَتَهَا إِلَى نُقَّالِهَا *** وَأَصُوْنُهَا
عَنْ كُلِّ مَا يُتَخَيَّلُ
Dan aku kembalikan pertanggung jawabannya kepada
orang-orang yang menukilnya
Dan aku menjaganya dari setiap apa yang dikarang-karang
(Umirruha) (‘ala haqiiqotiha)
Amirruha: dengan menentapkan makna
Bedanya Ahlus sunnah dan Mufawwidhoh
Ahlussunnah memahami Nama & sifat Allah , sesuai
dzahirnya dalam Al-Qur’an dan Sunnah, akan tetapi menetapkan makna, Sifat
Istiwa’ diketahui dalam B.Arab : Maknanya ‘Uluw wal Irtifaa’, Allah Marah
diketahui maknanya dalam B.Arab
Ketika Imam Malik (wafat th. 179 H) rahimahullah ditanya
tentang istiwa’ Allah, maka beliau menjawab:
اْلإِسْتِوَاءُ غَيْرُ مَجْهُوْلٍ، وَالْكَيْفُ غَيْرُ
مَعْقُوْلٍ، وَاْلإِيْمَانُ بِهِ وَاجِبٌ، وَالسُّؤَالُ عَنْهُ بِدْعَةٌ، وَمَا
أَرَاكَ إِلاَّ ضَالاًّ.
“Istiwa’-nya Allah ma’lum (sudah diketahui maknanya), dan
kaifiyatnya tidak dapat dicapai nalar (tidak diketahui), dan beriman kepadanya
wajib, bertanya tentang hal tersebut adalah perkara bid’ah, dan aku tidak
melihatmu kecuali da-lam kesesatan.”
(Lihat Syarhus Sunnah lil Imaam al-Baghawi (I/171),
Mukhtasharul ‘Uluw lil Imaam adz-Dzahabi (hal. 141), cet. Al-Maktab al-Islami,
tahqiq Syaikh al-Albani.)
Kemudian Imam Malik rahimahullah menyuruh orang tersebut
pergi dari majelisnya.
Adapun Al Mufawwidhoh
Mereka menyerahkan maknanya kepada Allah, sehingga jika ditanya
mengenai Firman Allah:
Ar Rohmaan ‘Alal Arsyis tawa
(Aku hanya membaca saja, adapun
maknanya aku serahkan kepada Allah)
Bal Yadaahu Mabsuushotaan
Wa GhodhibAllahu ‘alaih
(Kama Naqola Ath Thiroozul Awwal)
yakni Generasi pertama Umat ini; siapa? Para Shahabat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, Tabi’iin dan Para generasi terdahulu dari umat
ini, maka kami meyakini dengan apa yang diyakini oleh sebaik-baik generasi umat
ini dari para Shahabat, Tabi’iin dan yang mengikuti mereka dengan ihsan sampai
hari kiamat
Ini mengisyaratkan tentang firman
Allah Subhaanahu Wa Ta’aala:
وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ
بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ
نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ
Dan barangsiapa yang menentang Rasul
sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan
orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu (Qs An Nisaa: 115)
Pentingnya memahami Agama dengan pemahaman Para Shahabat,
karena mereka paling faham maksud Nabi-nya, dan paling faham tentang B.Arab
Dan aku kembalikan pertanggung jawabannya kepada
orang-orang yang menukilnya
(Aku kembalikan pertanggung jawabannya
kepada Nuqqoliha) yakni Para Shahabat, dan para Shahabat ‘Uduul Tsiqoot)
Dan aku menjaganya dari setiap apa yang dikarang-karang
(Yutakhoyyalu) yakni Al Mukayyif:
Orang-orang yang dengan khayalannya mengatakan tentang kaifiyyatulloh tanpa
Ilmu
Takyif (membagaimanakan)
Yaitu menggambarkan sifat Allah ﷻ dengan suatu sifat yang
dimaklumi. Perbedaan antara tamtsil dengan takyif, perbuatan tamtsil berarti
membandingkannya dengan makhluk yang lain (al-mumaatsal bihi), adapun takyif
tidak dilakukan perbandingan dengan yang lain.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah berkata:
قُبْحًا لِمَنْ نَبَذَ الْقُرْآنَ وَرَاءَهُ *** وَإِذَا
اسْتَدَلَّ يَقُوْلُ قَالَ الْأَخْطَلُ
Sungguh buruk orang yang melemparkan
al-Qur’an ke belakangnya
Dan jika dia berdalil maka dia
berkata: al-Akhthal (Seorang Nashrani, dan pecandu khamr)
(Qubhan) yakni Qobbaha Allahu “Semoga
Allah menjelekkan”
(Nabadzal Qur’an) yakni meninggalkan
berdalil dengan Al-Qur’an
(Wa Idzastadalla) jika diminta dalil
dari pendapat mereka
(Yaqulu Qolal Akhtholu) Mereka malah
berdalil dengan bait sya’ir
Siapa itu Akhthal?
Seorang Nashrani dari bani Umayyah,
satu tingkatan dengan Jarir dan Farozdaq
Bait-bait ini mengingatkan kita, dari
orang-orang yang berpaling dari Kitabullah, dan Sunnah Rasulullah, tidak
berpegang dengan Al-Qur’an justru berpegang bisa jadi dari akal-akalnya, atau
pemikirannya dan selainnya
Allah Subhaanahu Wa Ta’aala berfirman:
وَلَمَّا جَاءَهُمْ رَسُولٌ مِنْ عِنْدِ
اللَّهِ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَهُمْ نَبَذَ فَرِيقٌ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا
الْكِتَابَ كِتَابَ اللَّهِ وَرَاءَ ظُهُورِهِمْ كَأَنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ
Dan setelah datang kepada mereka
seorang Rasul dari sisi Allah yang membenarkan apa (kitab) yang ada pada
mereka, sebahagian dari orang-orang yang diberi kitab (Taurat) melemparkan
kitab Allah ke belakang (punggung)nya, seolah-olah mereka tidak mengetahui
(bahwa itu adalah kitab Allah). (Qs Al Baqarah: 101)
(Nabdzul Kitab) Melemparkan kitab ada
beberapa model, diantaranya adalah berpaling dari Al Qur’an, tidak
menjadikannya hukum, tidak menjadikan Al-Qur’an marja’ ketika terjadi
perselisihan
Allah Subhaanahu Wa Ta’aala berfirman:
فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى
اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ
ذَٰلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul
(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang
demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Qs An
Nisa: 59)
Maka An Nadzim memperingatkan tentang sikap
berpaling dari Kitabullah, jika tidak mengimani Al-Qur’an
فَبِأَيِّ حَدِيثٍ بَعْدَهُ يُؤْمِنُونَ
Maka kepada perkataan apakah selain Al
Quran ini mereka akan beriman? (Qs Al Mursalat: 50)
Syaikh Abul Bayan Muhammad bin Mahfudz
Ad-Dimasyqi Asy-Syafi’i rahimahullah (wafat tahun 551 H) berkata,
وأنتم إذا قيل لكم: ماالدليل على أن القرآن معنى في النفس؟
قلتم: قال الأخطل: إن الكلام لفي الفؤاد، إيش هذا الأخطل نصراني خبيث بنيتم مذهبكم
على بيت شعر من قوله، وتركتم الكتاب و السنة
“Jika dikatakan kepada kalian, “Apa
dalil bahwa Al-Qur’an itu hanyalah makna yang ada dalam jiwa (Allah)?”
Kalian mengatakan, “Akhthal berkata, ‘Sesungguhnya ucapan itu yang ada di dalam
hati.’” Tinggalkan Akhthal yang notabene orang Nashrani yang kotor itu. Kalian
membangun aqidah kalian di atas bait syair dari ucapan Akhthal, lalu kalian
tinggalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.” (Al-‘Uluww, hal. 260)
Jadi dasar mereka dalam berdalil bukan
dari Al-Qur’an ataupun Sunnah, akan tetapi syair-syair
Posting Komentar untuk "Syarah Mandzumah Lamiyyah (Kaidah Memahami Nama & Sifat Allah)"