Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

SYARAH MANDZUMAH AL QOWAID AL FIQHIYYAH (BAIT 15-17)

 


Kaedah Syariat Mudah

Oleh Aditya Bahari

 

قَاعِدَةِ الشَّرِيعَةْ التَّيسِيرُ ......... فِي كُلِّ أَمْرٍ نَابَهُ تَعسِيرُ  

Bait ke 15

“Kaedah syariat dibangun diatas taisiir (kemudahan), disetiap perkara yang terjadi padanya ta’siir (kesulitan)”

“At taisiir diambil dari kata yusrun”= as suhuulah (kemudahan)

“At ta’siir diambil dari kata ‘ushrun : Al Masyaqqah (kesulitan)

Makna Kaedah

 “Diantara hikmah Allah Ta’aala dan rahmat-Nya kepada hamba-hamba-Nya jika menimpa kepada hamba kesulitan maka syariat meringankannya dan memudahkan baginya”

Dalil Kaedah:

Allah Subhaanahu Wa Ta’aala berfirman:

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ ۚ

Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Qs Al Hajj: 78)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersaba:

إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ

Sesungguhnya agama itu mudah, dan sekali-kali tidaklah seseorang memperberat agama melainkan akan dikalahkan

ما خُيِّرَ رَسولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ بيْنَ أمْرَيْنِ قَطُّ إلَّا أخَذَ أيْسَرَهُمَا، ما لَمْ يَكُنْ إثْمًا

 Tidaklah Rasulullah diberi dua pilihan dari suatu perkara, kecuali beliau memilih yang paling mudahnya, selama bukan dalam perkara dosa(HR. Bukhari)

أَحَبُّ الدِّينِ إِلَى الله الْحَنِيفِيَّةُ السَّمْحَةُ

قال الحافظ ابن حجر في "الفتح" (1 /94): الحنيف لغةً: ما كان على ملة إبراهيم، والسمح: هو السهل؛ اهـ.

“Agama yang paling Allah cintai adalah Al Hanafiyyatus Samhah” yaitu agama Nabi Ibrahim yang mudah”

(H.R Bukhari)

Para Ulama mengungkapkannya dengan

المشقة تجلب التيسير

“Kesulitan (beban) itu mendatangkan kemudahan”

Akan tetapi ungkapan dari penulis disini lebih pantas karena beberapa sebab:

1.       Syariat datang menafikan kesulitan bukan beban

2.       Pada dasarnya di dalam perintah syariat sendiri terdapat masyaqqah (beban) akan tetapi maslahat kebaikannya lebih besar, seperti sholat, jihad, amar ma’ruf nahi munkar

Maka yang lebih cocok sebagaimana disampaikan penulis :

التعسير سبب التيسير

“Kesulitan sebab kemudahan”

Jika sudah memahaminya maka kesulitan yang mana yang menjadi sebab kemudahan:

1.       Sakit, seperti seorang yang sakit dan tidak bisa menggunakan air untuk wudhu, ia berpindah ke thaharoh dengan tayammum

2.       Safar, yakni karena safar Allah berikan keringanan bolehnya men jama’ dan qoshr dari sholat

3.       Kekurangan (seperti majnun, anak kecil, dan haidh)

 

وَلَيسَ وَاجِبٌ بِلَا اقْتِدَارِ....... وَلَا مُحَرَّمٌ مَعَ اضْطِرَارِ

Bait ke 16

“Tidak ada hukum wajib jika tidak mampu dan tidak terdapat hukum haram pada kondisi terpaksa”

Bait ini mengandung dua kaedah sekaligus

1.      أن الواجبات تسقط مع عدم القدرة

“Bahwa kewajiban gugur bersama dengan ketidakmampuan”

Makna Kaedah:

Makna kaedah: “Allah Ta’aala mewajibkan hamba-Nya berbagai macam kewajiban dan mengharamkan berbagai hal yang haram. Akan tetapi apabila mereka sama sekali tidak mampu melakukannya, Allah tidak mewajibkan mereka tetap melakukan sesuatu yang mereka tidak mampu mengerjakannya.”

Demikian juga Allah haramkan berbagai hal untuk menjaga dan melindungi mereka. Meskipun demikian jika seorang terpaksa melakukan sesuatu hal yang haram, maka dibolehkan untuknya melakukan hal haram tersebut”

وَلَيسَ وَاجِبٌ بِلَا اقْتِدَارِ

“Tidak ada hukum wajib jika tidak mampu…

Wajib: “perbuatan yang diperintahkan oleh Syari’ secara mutlak”

Dalil Kaedah:

Allah Subhaanahu Wa Ta’aala berfirman:

فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ

Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu. (Qs At Taghabun: 16)

Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَمَا أَمَرْتُكُمْ بِهِ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ

“Dan apa saja yang aku perintahkan, maka kerjakanlah semampu kalian.”

Allah Subhaanahu Wa Ta’aala berfirman tentang Haji :

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا ۚ

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (Qs Ali Imran: 97)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang sholat:

صلِّ قائمًا فإن لم تستطِع فقاعِدًا فإن لم تستطِعْ فعلى جَنبٍ

“Shalatlah dengan berdiri, jika tidak mampu maka duduk, jika tidak mampu maka sambil berbaring” (HR. Bukhari 1117)

Maka kesimpulannya: seluruh kewajiban-kewajiban itu tergantung pada kemampuan, jika tidak mampu maka gugurlah kewajiban tersebut

 

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Qs Al Baqarah: 286)

 

Kemudahan Syariat ada dua:

Kemudahan yang asli: “Bahwasanya seluruh syariat Islam adalah mudah”

Kemudahan yang sifatnya tiba-tiba: “yakni jika ada sebab yang membuatnya mudah maka dimudahkan baginya”

Contoh: Sholat, Aslinya sholat mudah kemudian apabila terdapat masyaqqah (kesulitan)

إذا ابتلى الله العبد قدرا خفف عنه شرعا

“Jika Allah memberi ujian bagi hamba-Nya (takdir)  maka syariat akan memudahkannya”

Seorang yang tidak bisa mandi dengan air = tayammum

Puasa jika tidak mampu = memberi makan

Fakir tidak bisa zakat = tidak wajib

 

وَلَا مُحَرَّمٌ مَعَ اضْطِرَارِ

“dan tidak terdapat hukum haram pada kondisi terpaksa

Muharram: “Perbuatan yang dilarang syaari’”

Kaedahnya :

الضرورات تبيح المحظورات

“Kondisi darurat menyebabkan dibolehkannya hal-hal yang haram”

“Jika seorang mukallaf dalam keadaan darurat, untuk melakukan hal yang haram dimana daruratnya ini mengharuskannya untuk dilakukan, maka tidak ada masalah jika dia melakukannya, seperti seorang yang makan bangkai saat kondisi tidak ada makanan sama sekali kecuali bangkai itu, dan ia khawatir jika tidak makan dia akan mati”

Allah Subhaanahu Wa Ta’aala berfirman:

فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.. (Qs Al Baqarah: 173)

 

وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ ۗ

“Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya” (Qs Ali Imran: 119)

“Jika seorang tersendat makanan lalu tidak ia ketemukan minuman untuk menghilangkan sedatknya kecuali tegukan khamr, maka tidak mengapa dia meneguknya, karena kondisinya darurat, dan tidak ada keharaman pada sesuatu yang darurat”

Syarat dari kaedah ini ada 2:

1.       Tidak ada selainnya

2.       Yakin akan manfaatnya

 

 

وَ كُلُّ مَحظُورٍ مع الضَّرورَةِ .... بِقَدرِ ما تَحتَاجُهُ الضَّرورِةْ

Bait ke 17

“Semua hal terlarang ketika dalam kondisi darurat, maka cukup sekedar apa yang menjadi kebutuhan daruratnya”

Bait ini merupakan syarat dari kaedah yang sebelumnya: yakni tidaklah seorang melaksanakan yang haram (yang dilarang) kecuali dengan kadarnya

Makna Kaedah،

 “Setiap hal yang terlarang dalam kondisi darurat diperbolehkan melakukannya akan tetapi ditakar darurat tersebut sesuai kadarnya”

seperti seorang yang makan bangkai saat kondisi tidak ada makanan sama sekali kecuali bangkai itu, dan ia khawatir jika tidak makan dia akan mati, namun dia makan sesuai dengan kadar yang membuatnya bisa berdiri dan tetap hidup, bukan berarti dia memakan bangkai atau memakan hewan yang haram sampai kenyang.

Kaedahnya :

الضرورات تُقَدَّر بقدَرِهَا

“kondisi darurat ditimbang sesuai kadarnya”

Dalil Kaedah:

Allah Subhaanahu Wa Ta’aala berfirman:

فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.. (Qs Al Baqarah: 173)

“Sebagaimana darurat sesuai kadarnya, maka kebutuhan juga ditakar sesuai kadarnya, misalkan seorang Dokter laki-laki, menyingkap tempat yang sakit dari badan seorang perempuan karena butuh untuk diobati, maka dia menyingkapnya sesuai kebutuhan saja tidak boleh lebih, misalkan sakitnya di wajah maka tidak perlu untuk membuka hijabnya yang akhirnya menampakkan rambutnya”

Wallahu A’lam

 

 

Aditya Bahari
Aditya Bahari Alumni LIPIA Jakarta, Pengasuh Pejalansunnah, Staf Pengajar di PP Darut Taqwa Boyolali

Posting Komentar untuk "SYARAH MANDZUMAH AL QOWAID AL FIQHIYYAH (BAIT 15-17)"