Sejarah Kota Thaif

Allah Ta’aala berfirman:

وَقَالُوا لَوْلَا نُزِّلَ هَٰذَا الْقُرْآنُ عَلَىٰ رَجُلٍ مِنَ الْقَرْيَتَيْنِ عَظِيمٍ

“Dan mereka berkata: "Mengapa Al Quran ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Mekah dan Thaif) ini?” (QS Az-Zukhruf: 31)

Ibnu Abbas radhiyAllahu ‘anhuma menafsirkan:

يعني بالعظيم: الوليد بن المغيرة القرشي، أو حبيب بن عمرو الثقفي؛ وبالقريتين: مكة، والطائف.

“Ia berkata: yang dimaksud dengan ‘orang besar’ adalah al-Walīd bin al-Mughirah al-Qurasyī, atau Ḥabīb bin ‘Amr ats-Tsaqafī; dan yang dimaksud dengan ‘dua negeri’ adalah Makkah dan Ṭāif.” (Taufiqur Rahman 4/31)

Ibnu Katsir rahimahullah :

فخرج رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى الطائف لكي يؤووه وينصروه على قومه، ويمنعوه منهم، ودعاهم إلى الله عز وجل، فلم يجيبوه إلى شيء من الذي طلب، وآذوه أذى عظيماً، لم ينل قومه منه أكثر مما نالوا منه.

Rasulullah ﷺ pun berangkat ke Thaif dengan harapan mereka mau memberi perlindungan kepadanya, menolongnya menghadapi kaumnya, dan melindunginya dari gangguan mereka.

Beliau mengajak mereka kepada Allah عز وجل, namun mereka tidak memenuhi sedikit pun dari apa yang beliau minta, bahkan mereka menyakitinya dengan gangguan yang sangat besar, gangguan yang tidak pernah beliau alami dari kaumnya sendiri sebesar itu.

Aisyah bertanya :

عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها أَنَّهَا قَالَتْ لِلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم:

هَلْ أَتَى عَلَيْكَ يَوْمٌ كَانَ أَشَدَّ مِنْ يَوْمِ أُحُدٍ؟

قَالَ: لَقَدْ لَقِيتُ مِنْ قَوْمِكِ، وَكَانَ أَشَدَّ مَا لَقِيتُ مِنْهُمْ يَوْمَ الْعَقَبَةِ، إِذْ عَرَضْتُ نَفْسِي عَلَى ابْنِ عَبْدِ يَالِيلَ بْنِ عَبْدِ كُلَالٍ، فَلَمْ يُجِبْنِي إِلَى مَا أَرَدْتُ، فَانْطَلَقْتُ وَأَنَا مَهْمُومٌ عَلَى وَجْهِي، فَلَمْ أَسْتَفِقْ إِلَّا وَأَنَا بِقَرْنِ الثَّعَالِبِ، فَرَفَعْتُ رَأْسِي، فَإِذَا أَنَا بِسَحَابَةٍ قَدْ أَظَلَّتْنِي، فَنَظَرْتُ فَإِذَا فِيهَا جِبْرِيلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ، فَنَادَانِي، فَقَالَ:

إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدْ سَمِعَ قَوْلَ قَوْمِكَ لَكَ، وَمَا رَدُّوا عَلَيْكَ، وَقَدْ بَعَثَ إِلَيْكَ مَلَكَ الْجِبَالِ لِتَأْمُرَهُ بِمَا شِئْتَ فِيهِمْ.

فَنَادَانِي مَلَكُ الْجِبَالِ، فَسَلَّمَ عَلَيَّ، ثُمَّ قَالَ:

يَا مُحَمَّدُ، إِنَّ اللَّهَ قَدْ سَمِعَ قَوْلَ قَوْمِكَ لَكَ، وَأَنَا مَلَكُ الْجِبَالِ، وَقَدْ بَعَثَنِي رَبِّي إِلَيْكَ لِتَأْمُرَنِي بِأَمْرِكَ، فَمَا شِئْتَ، إِنْ شِئْتَ أَطْبَقْتُ عَلَيْهِمُ الْأَخْشَبَيْنِ

Dari Aisyah رضي الله عنها, ia berkata kepada Nabi ﷺ:

Apakah pernah ada satu hari yang lebih berat bagimu daripada hari Uhud?

Beliau menjawab:

Sungguh aku telah mengalami banyak gangguan dari kaummu. Dan yang paling berat yang aku alami dari mereka adalah pada hari ‘Aqabah, ketika aku menawarkan diriku kepada Ibnu ‘Abdi Yalil bin ‘Abdi Kulal, namun ia tidak memenuhi apa yang aku harapkan. (Sebagian menjelaskan bahwa ini terjadi di Thaif)

Aku pun pergi dalam keadaan sangat sedih dan berjalan tanpa tujuan, hingga aku baru sadar ketika telah sampai di Qarnuts Tsa‘alib. (Qornul Manazil) - miqot Sail Kabir miqotnya Ahlu Riyadh (Najd)

Aku mengangkat kepalaku, tiba-tiba ada awan yang menaungiku, lalu aku melihat Jibril عليه السلام berada di dalamnya. Ia memanggilku dan berkata:

Sesungguhnya Allah Ta‘ala telah mendengar ucapan kaummu kepadamu dan penolakan mereka terhadapmu. Dan Allah telah mengutus kepadamu malaikat penjaga gunung-gunung agar engkau memerintahkannya sesuai kehendakmu terhadap mereka.

Kemudian malaikat gunung memanggilku dan memberi salam kepadaku, lalu berkata:

Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah telah mendengar ucapan kaummu kepadamu. Aku adalah malaikat gunung, dan Rabb-ku telah mengutusku kepadamu agar aku melaksanakan apa pun perintahmu. Jika engkau mau, aku akan menimpakan kepada mereka dua gunung besar (Al-Akhsabain) Maksudnya Jabal Abu Qubais & Jabal Qoiqi’aan

Doa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

اللّهُمّ إلَيْك أَشْكُو ضَعْفَ قُوّتِي ، وَقِلّةَ حِيلَتِي ، وَهَوَانِي عَلَى النّاسِ، يَا أَرْحَمَ الرّاحِمِينَ ! أَنْتَ رَبّ الْمُسْتَضْعَفِينَ وَأَنْتَ رَبّي ، إلَى مَنْ تَكِلُنِي ؟ إلَى بَعِيدٍ يَتَجَهّمُنِي ؟ أَمْ إلَى عَدُوّ مَلّكْتَهُ أَمْرِي ؟ إنْ لَمْ يَكُنْ بِك عَلَيّ غَضَبٌ فَلَا أُبَالِي ، وَلَكِنّ عَافِيَتَك هِيَ أَوْسَعُ لِي ، أَعُوذُ بِنُورِ وَجْهِك الّذِي أَشْرَقَتْ لَهُ الظّلُمَاتُ وَصَلُحَ عَلَيْهِ أَمْرُ الدّنْيَا وَالْآخِرَةِ مِنْ أَنْ تُنْزِلَ بِي غَضَبَك ، أَوْ يَحِلّ عَلَيّ سُخْطُكَ، لَك الْعُتْبَى حَتّى تَرْضَى ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوّةَ إلّا بِك"[ابن هشام 1/ 420]

“Ya Allah, hanya kepada-Mu aku mengadukan lemahnya kekuatanku, sedikitnya dayaku, dan hinanya aku di hadapan manusia. Wahai Tuhan Yang Maha Penyayang dari semua penyayang. Engkaulah Tuhan orang-orang yang lemah, dan Engkaulah Tuhanku.

Kepada siapa Engkau menyerahkanku? Kepada orang jauh yang bermuka masam kepadaku? Ataukah kepada musuh yang Engkau kuasakan urusanku kepadanya?

Jika Engkau tidak murka kepadaku, maka aku tidak peduli. Namun keselamatan (ampunan dan perlindungan) dari-Mu lebih luas bagiku.

Aku berlindung dengan cahaya wajah-Mu yang dengan-Nya kegelapan menjadi terang dan urusan dunia serta akhirat menjadi baik,

dari Engkau menurunkan kemurkaan-Mu kepadaku atau Engkau menimpakan murka-Mu atasku.

Bagi-Mu segala pengaduan hingga Engkau ridha, dan tidak ada daya serta kekuatan kecuali dengan pertolongan-Mu.”

Kebun yang Nabi berlindung di dalamnya milik Utbah bin Robi’ah & Syaibah bin Robi’ah

Mereka memiliki budak namanya Addaas seorang Nasrani dari Ninawa kotanya Nabi Yunus ‘alaihis salam

Nabi menuju Makkah sampai di lembah Nakhlah disanalah Allah memberi hiburan kepada Nabi

datang sekelompok jin menyimak bacaan Al-Qur’an Nabi dan beriman :

وَإِذْ صَرَفْنَا إِلَيْكَ نَفَرًا مِنَ الْجِنِّ يَسْتَمِعُونَ الْقُرْآنَ فَلَمَّا حَضَرُوهُ قَالُوا أَنْصِتُوا ۖ فَلَمَّا قُضِيَ وَلَّوْا إِلَىٰ قَوْمِهِمْ مُنْذِرِينَ

قَالُوا يَا قَوْمَنَا إِنَّا سَمِعْنَا كِتَابًا أُنْزِلَ مِنْ بَعْدِ مُوسَىٰ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ يَهْدِي إِلَى الْحَقِّ وَإِلَىٰ طَرِيقٍ مُسْتَقِيمٍ

يَا قَوْمَنَا أَجِيبُوا دَاعِيَ اللَّهِ وَآمِنُوا بِهِ يَغْفِرْ لَكُمْ مِنْ ذُنُوبِكُمْ وَيُجِرْكُمْ مِنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ

“Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Al Quran, maka tatkala mereka menghadiri pembacaan(nya) lalu mereka berkata: "Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)". Ketika pembacaan telah selesai mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan.

Mereka berkata: "Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (Al Quran) yang telah diturunkan sesudah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus.

Hai kaum kami, terimalah (seruan) orang yang menyeru kepada Allah dan berimanlah kepada-Nya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kamu dan melepaskan kamu dari azab yang pedih.” (QS Al-Ahqaf: 29-31)

Lalu Nabi mulai memasuki Mekkah, dan meminta perlindungan “Muth’im bin ‘Adiyy” akhirnya Nabi diberi jaminan keselamatan dan melanjutkan berdakwah

Tufail bin Amr

Thaif adalah daerah yang memiliki lahan pertanian, kebun kurma, anggur, pisang, dan berbagai jenis buah-buahan lainnya. Di sana terdapat air yang mengalir dan lembah-lembah yang alirannya menuju Tabālah. Mayoritas penduduk Thaif berasal dari kabilah Tsaqif dan Himyar, serta sebagian dari kaum Quraisy. Kota ini terletak di punggung Gunung Ghazwān, dan di wilayah Ghazwān terdapat kabilah Hudzail.

Ibnu ‘Abbas berkata:

"Thaif dinamakan demikian karena Nabi Ibrahim ‘alaihis salam, ketika menempatkan keturunannya di Makkah dan berdoa kepada Allah agar penduduknya diberi rezeki berupa buah-buahan, maka Allah عز وجل memerintahkan sebidang tanah beserta pepohonannya untuk berpindah hingga menetap di tempat Thaif. Tanah itu pun datang dan mengelilingi (bertawaf) Ka‘bah, lalu Allah menetapkannya di tempat Thaif. Oleh sebab itulah dinamakan Thaif, karena ia pernah mengelilingi Baitullah."

Meskipun memiliki nama yang agung, Thaif sebenarnya adalah sebuah kota kecil yang terletak di tepi sebuah lembah. Kota ini terdiri dari dua kawasan pemukiman:

yang satu berada di sisi ini dan disebut Thaif Tsaqif,

dan yang lainnya di sisi seberang disebut Al-Wahth.

Di antara kedua kawasan itu terdapat sebuah lembah yang mengalir air limbah tempat penyamakan kulit, tempat kulit-kulit disamak; bau airnya sangat menyengat hingga dapat menjatuhkan burung-burung yang melintas di atasnya.

Rumah-rumahnya rendah, rapat, dan sempit, dan di sekelilingnya terdapat kebun-kebun anggur di lereng gunung tersebut, yang menghasilkan anggur manis yang tidak ada bandingannya di negeri mana pun. Adapun kismisnya, maka dijadikan perumpamaan karena keindahan dan kualitasnya.

Udara Thaif sejuk dan bersih, berada di wilayah utara, dan pada musim dingin airnya kadang membeku.

Buah-buahan penduduk Mekah berasal dari sana (Thaif). Gunung tempat kota itu berada disebut Ghazwān.

Abu Shalih meriwayatkan: Aku pernah menyebut kabilah Tsaqif di hadapan Ibnu Abbas, lalu ia berkata:

Tsaqif dan An-Nakha‘ adalah dua sepupu. Keduanya pernah keluar mencari tempat penggembalaan, membawa beberapa kambing betina dan seekor anak kambing. Lalu mereka berhadapan dengan petugas penarik zakat (atau pajak) dari salah satu raja Yaman, yang hendak mengambil seekor kambing dari mereka.

Mereka berkata:

‘Ambillah yang lain sesukamu, jangan kambing betina yang sedang diperah ini, karena dari susunya kami hidup, dan dari anaknya kami berkembang.’

Namun ia berkata:

‘Aku tidak akan mengambil selain kambing itu.’

Maka mereka bersikap lembut kepadanya, tetapi ia tetap tidak mau mengalah. Salah seorang dari keduanya lalu memandang temannya, dan keduanya berniat membunuhnya. Kemudian salah seorang dari mereka mencabut sebuah anak panah, lalu memanah jantungnya, sehingga ia jatuh tersungkur dan mati.”

Ketika keduanya menyadari hal itu, salah seorang berkata kepada temannya:

Bumi ini tidak akan mampu menampung aku dan engkau bersama-sama. Maka pilihannya: engkau pergi ke barat dan aku ke timur, atau aku ke barat dan engkau ke timur.”

Tsaqif berkata:

Aku akan pergi ke barat.”

Sedangkan An-Nakha‘ berkata:

Aku akan pergi ke timur.”

Nama Tsaqif adalah Qusaiyy (قُسَيّ) dan nama An-Nakha‘ adalah Jasrā (جَسْرَى).

Maka An-Nakha‘ pun berjalan hingga menetap di Bīsyah, di wilayah Yaman.

Adapun Tsaqif, ia berjalan hingga tiba di Wādī al-Qurā, lalu tinggal bersama seorang perempuan Yahudi tua yang tidak memiliki anak. Ia bekerja di siang hari dan bermalam di rumahnya. Perempuan itu pun menganggapnya sebagai anak, dan ia menganggap perempuan itu sebagai ibu.

Ketika perempuan itu menjelang wafat, ia berkata kepadanya:

“Wahai anakku, tidak ada seorang pun bagiku selain engkau, dan aku ingin memuliakanmu karena kebaikanmu kepadaku.

Jika aku telah meninggal dan engkau menguburkanku, ambil dinar-dinar ini dan manfaatkanlah, dan ambil pula batang-batang tanaman ini. Apabila engkau sampai di suatu lembah yang memungkinkan mendapatkan air, tanamlah batang-batang ini, karena aku berharap engkau akan memperoleh keberuntungan dan hasil yang nyata darinya.”

Ia pun melakukan apa yang diperintahkannya. Setelah perempuan itu wafat, ia menguburkannya, mengambil dinar-dinar dan batang-batang tanaman itu, lalu melanjutkan perjalanannya.

Ketika ia hampir sampai di Wajj, yaitu Thaif, ia bertemu seorang budak perempuan Habasyah yang sedang menggembalakan seratus ekor kambing. Ia pun tergoda dan berniat membunuhnya lalu mengambil kambing-kambing itu. Perempuan itu menyadari niatnya lalu berkata:

“Aku tahu engkau menyimpan niat buruk terhadapku, hendak membunuhku dan mengambil kambing-kambing ini. Demi Allah, jika engkau melakukan itu, engkau akan binasa dan tidak akan mendapatkan apa pun dari kambing-kambing ini, karena tuanku adalah penguasa lembah ini, yaitu ‘Āmir bin azh-Zharb al-‘Adwānī. Dan aku melihat engkau adalah orang yang ketakutan dan terusir.”

Ia berkata: “Benar.”

Perempuan itu berkata:

“Kalau begitu, aku akan menunjukkan sesuatu yang lebih baik daripada apa yang engkau inginkan.”

Ia bertanya: “Apa itu?”

Perempuan itu menjawab:

“Tuanku biasanya datang ketika matahari mulai condong ke barat. Ia naik ke gunung ini lalu memandang ke lembah. Jika ia tidak melihat seorang pun, ia meletakkan busur, tempat anak panah, dan pakaiannya, kemudian turun. Utusannya lalu berseru:

Barang siapa menginginkan daging, darmak (tepung gandum halus), kurma, dan susu, maka datanglah ke rumah ‘Āmir bin azh-Zharb.’

Kaumnya pun datang. Maka datanglah engkau lebih dulu ke batu itu, ambil busur, anak-panah, dan pakaiannya. Jika ia kembali dan bertanya siapa engkau, katakan:

Aku orang asing yang singgah, ketakutan, dan meminta perlindungan; aku juga bujang dan ingin menikah.’”

Maka Tsaqif melakukan seperti yang dikatakan budak perempuan itu, dan ‘Āmir, penguasa lembah, pun melakukan kebiasaannya.

Ketika ‘Āmir mengambil kembali busur dan anak panahnya lalu naik, ia bertanya:

“Siapakah engkau?”

Ia pun menceritakan keadaannya dan berkata:

“Aku Qusaiyy bin Munabbih.”

‘Āmir berkata:

Serahkan apa yang ada padamu, karena aku telah mengabulkan apa yang engkau minta.

Kemudian ia pun kembali bersama-sama dengannya ke Wajj (Thaif), dan mengutus orang-orangnya sebagaimana kebiasaannya dahulu.

Setelah mereka makan, ‘Āmir berkata kepada kaumnya:

“Bukankah aku pemimpin kalian?”

Mereka menjawab: “Benar.”

Ia berkata: “Dan bukankah aku anak dari pemimpin kalian?”

Mereka menjawab: “Benar.”

Ia berkata: “Bukankah kalian memberi perlindungan kepada siapa yang aku lindungi dan menikahkan siapa yang aku nikahkan?”

Mereka menjawab: “Benar.”

Ia berkata:

Ini adalah Qusaiy bin Munabbih bin Bakr bin Hawāzin. Aku telah menikahkannya dengan putriku yang bernama fulanah, aku telah memberinya perlindungan dan menempatkannya di rumahku.”

Maka ia pun menikahkannya dengan seorang putrinya yang bernama Zainab. Kaumnya berkata:

“Kami ridha dengan apa yang engkau ridai.”

Zainab melahirkan baginya ‘Auf dan Jashm, kemudian ia wafat. Lalu Qusaiy menikahi saudarinya, yang kemudian melahirkan Salāmah dan Dāris. Keduanya kemudian menasabkan diri di Yaman; Dāris masuk ke dalam kabilah Azd, dan yang lainnya ke sebagian kabilah Yaman.

Qusaiy kemudian menanam batang-batang tanaman itu di Wādī Wajj, lalu tanaman itu tumbuh dan berbuah. Ketika telah berbuah, orang-orang berkata:

“Semoga Allah membinasakannya! Betapa cerdiknya ia memperdaya ‘Āmir hingga memperoleh apa yang ia peroleh, dan betapa pandainya ia menanam batang-batang ini hingga menghasilkan seperti ini.”

Sejak saat itu ia dinamakan Tsaqīf (ثقيف).

Maka kabilah Tsaqīf terus tinggal bersama kabilah ‘Adwān hingga keturunannya bertambah banyak, mereka menjadi kuat dan berani. Terjadi beberapa perselisihan antara mereka dan ‘Adwān yang akhirnya berujung peperangan, dan Tsaqīf keluar sebagai pemenang. Mereka pun mengusir ‘Adwān dari tanah Thaif dan menguasainya sepenuhnya.

Kemudian Tsaqīf menjadi penduduk yang paling mulia negerinya, paling kuat pertahanannya, paling baik tempat tinggalnya, dan paling subur wilayahnya, dengan letak yang strategis di tengah Hijaz. Kabilah-kabilah Mudar, Yaman, dan Qudha‘ah mengelilingi mereka dari segala arah, namun mereka mampu melindungi wilayahnya, menghadapi kabilah-kabilah Arab, dan mempertahankannya. Mereka menanam kebun-kebun anggur, menggali sumur-sumur dan saluran air.

Penduduk Thaif terdiri dari Azd As-Sarāt, Kinānah, ‘Udzrah, Quraisy, Nashr bin Mu‘āwiyah, Hawāzin secara keseluruhan, Aus, Khazraj, Muzainah, Juhainah, dan kabilah-kabilah lainnya.

Semua itu berlangsung sementara Thaif masih disebut Wajj, hingga terjadilah peristiwa yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu pembangunan tembok oleh Al-Hadrami, dan sejak saat itu dinamakan Thaif.

Sebagian ahli nasab menyebutkan sebab lain penamaan Thaif, yaitu:

Ketika ‘Āmir bin azh-Zharb wafat, ia diwarisi oleh dua putrinya, Zainab dan ‘Amrah. Qusaiy bin Munabbih melamarnya dan dinikahkan dengan Zainab, yang melahirkan Jashm dan ‘Auf. Setelah ‘Āmir wafat dan Zainab meninggal, Qusaiy menikahi saudarinya, yang sebelumnya telah menikah dengan Sha‘sha‘ah bin Mu‘āwiyah bin Bakr bin Hawāzin, dan melahirkan ‘Āmir bin Sha‘sha‘ah.

Maka Thaif menjadi wilayah bersama antara keturunan Tsaqīf dan keturunan ‘Āmir bin Sha‘sha‘ah. Ketika kedua kelompok ini semakin banyak, Tsaqīf berkata kepada Bani ‘Āmir:

“Kalian memilih hidup di tenda dan padang pasir, sedangkan kami memilih kota dan kebun. Kalian tidak mengenal apa yang kami kenal dan tidak mengelola sebagaimana kami mengelola. Kami menawarkan kepada kalian bagian besar: ternak dan unta tetap milik kalian, dan kebun-kebun ini milik kami, hasilnya kita bagi dua. Kalian tetap hidup sebagai orang Badui namun juga mendapatkan hasil pertanian, tanpa menanggung biaya dan tanpa terpapar wabah, serta tidak terganggu dari padang gembalaan.”

Mereka pun menyetujuinya. Maka setiap tahun mereka datang dan mengambil setengah hasil panen. Ada pula yang mengatakan bahwa yang disepakati hanyalah hasil musim semi.

Ketika kekuatan Tsaqīf semakin besar dan permukiman Wajj semakin ramai, kabilah-kabilah Arab mulai iri, dan orang-orang di sekitarnya pun berambisi menyerang mereka. Mereka diserang, lalu meminta pertolongan kepada Bani ‘Āmir, tetapi tidak ditolong.

Maka Tsaqīf sepakat untuk membangun tembok sebagai benteng. Para wanita membuat batu bata, dan para lelaki membangun tembok hingga selesai. Mereka menamakannya Thaif, karena tembok itu mengelilingi mereka.

Mereka membuat dua pintu gerbang:

  • satu untuk Bani Yasar,
  • dan satu untuk Bani ‘Auf.

Pintu Bani Yasar dinamakan Sha‘b, dan pintu Bani ‘Auf dinamakan Sāhir.

Kemudian Bani ‘Āmir datang untuk mengambil bagian yang biasa mereka ambil, tetapi dicegah, lalu terjadilah peperangan, dan Tsaqīf kembali menang, sehingga menguasai Thaif sepenuhnya.

Akhirnya orang-orang Arab menjadikan Tsaqīf sebagai perumpamaan (dalam kekuatan dan keteguhan).

Abu Thalib bin ‘Abdul Muththalib berkata:

Kami melindungi negeri kami dari setiap kabilah,

sebagaimana Tsaqīf melindungi Thaif dengan bentengnya.

Sekelompok kaum datang hendak merampasnya,

namun pedang-pedanglah yang menghalangi mereka dari itu.

Kemudian kelompok-kelompok Arab merasa iri kepada mereka dan berniat menyerang, maka mereka menghadapi serangan itu dengan tegar dan bersungguh-sungguh dalam peperangan. Ketika orang-orang itu tidak berhasil meraih apa pun dari mereka, dan tidak menemukan celah untuk menyerang, mereka pun membiarkan mereka sebagaimana adanya.

Mereka pun menjadi bangsa Arab yang paling sejahtera kehidupannya, hingga datang Islam. Lalu Rasulullah ﷺ memerangi mereka, dan menaklukkan Thaif pada tahun kesembilan Hijriah.